SINJAI, Pos Liputan- Terkait dugaan penyimpangan aktivitas tambang emas yang mencakup area seluas 11.326 hektare di empat kecamatan wilayah Kabupaten Sinjai, Sinjai Barat, Bulupoddo, Sinjai Tengah, Sinjai Selatan.
Mendapat sorotan tajam dari Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Mursil, yang juga merupakan putra daerah Kabupaten Sinjai.
Ia menyebut bahwa informasi yang beredar akan dimulainya operasi produksi oleh investor tambang sebagai alarm keras atas potensi pelanggaran hukum. Pasalnya, izin yang dikantongi investor sejauh ini hanya berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi, bukan produksi.
“Kalau IUP-nya eksplorasi, tapi sudah ada aktivitas produksi, itu bukan sekadar kelalaian, itu skandal! Negara tidak boleh tutup mata,” tegasnya, Rabu (18/6/2025).
Lebih jauh, ia mempertanyakan peran pemerintah daerah dan instansi pengawas lingkungan yang tampak diam atau bahkan terkesan permisif. Ia menilai, dalam situasi seperti ini, ketidakjelasan informasi dan minimnya keterlibatan publik adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan keadilan ekologis.
“Tanah Sinjai bukan ladang eksploitasi untuk memperkaya segelintir elit dan investor. Kami warga, kami mahasiswa, kami anak-anak daerah punya hak bicara dan bertindak!,” ujarnya penuh tekanan.
Menurutnya, keberadaan tambang emas di tengah krisis lingkungan, ketimpangan sosial, dan lemahnya kontrol pemerintah bukan solusi pembangunan, melainkan sumber konflik dan kerusakan yang sistematis.
Mursil mengingatkan bahwa proses menuju produksi tambang harus melewati tahapan panjang: mulai dari uji kelayakan, studi AMDAL, konsultasi publik, hingga izin produksi. Jika tahapan ini dilangkahi, maka aktivitas tambang itu ilegal dan harus dihentikan segera.
Ia mendesak Pemerintah Kabupaten Sinjai, Dinas ESDM Sulsel, hingga KLHK untuk tidak bermain mata dengan kepentingan modal.
Lebih penting lagi, ia mengajak masyarakat sipil, akademisi, tokoh adat, dan organisasi mahasiswa untuk membentuk barisan perlawanan sipil demi menyelamatkan ruang hidup masyarakat dan ekosistem yang terancam.
“Kami tidak anti-investasi, tapi kami anti perampokan terselubung atas nama regulasi! Kalau hari ini kita diam, besok kita akan kehilangan kampung halaman,” pungkasnya.
Komentar