OPINI, Pos Liputan- Setelah pemerintah menyampaikan berita datangnya investasi tambang emas seluas 11.326 hektar dari PT Trinusa Resources di Kabupaten Sinjai, banyak kalangan yang mengira angin segar dalam pembangunan ekonomi daerah. Tetapi bagi warga dan pemerhati lingkungan, ini alamat bahaya. Penanaman modal ini sesungguhnya kegiatan eksploitasi berukuran besar yang akan merusak lingkungan fisik dan sosial Sinjai.
Tambang Sumber Krisis
Orasi kuno bahwa tambang menambah kesempatan kerja dan memberi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sudah berulang kali disampaikan, tetapi tidak terbukti secara berkelanjutan. Sebaliknya, banyak daerah penghasil tambang malah tetap miskin, lingkungannya rusak dan meninggalkan jejak sosial yang buruk. WALHI mencatat lebih dari 3.000 bentrok pertanahan dan lingkungan antara rakyat dengan perusahaan tambang dalam dasarwarsa terakhir ini. Sinjai bisa menjadi tempat baru dari konflik itu.
Mengundang Krisis Air
Konsesi tambang PT Trinusa Resources meliputi wilayah yang luas, mencakup Kecamatan Sinjai Selatan, Sinjai Borong, Sinjai Barat dan Bulupoddo. Perlu diingat bahwa Sinjai Barat adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Tangka, sumber air vital bagi mayoritas warga Sinjai, dan aktivitas tambang di sana berpotensi merusak sistem hidrologisnya secara permanen. Contoh kasus, ada di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Instalasi Pengolahan Air (IPA) Sistem Penyedia Air Minum Ibukota Kecamatan Petasia senilai Rp54 miliar gagal berfungsi karena air bakunya tercemar tambang. Kita wajib mencegah terulangnya krisis air semacam itu di Sinjai.
Mengancam Biodiversitas
Aktivitas tambang juga mencaplok kawasan hutan lindung yang merupakan benteng keanekaragaman hayati dan penyangga iklim mikro Sinjai. Bencana lingkungan sisa menunggu waktu, jika hutan digundul. Banjir, kekeringan ekstrem dan tanah longsor niscaya akan menimpa kita. Hasil penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan bahwa hutan yang dialihkan untuk tambang telah meningkatkan suhu lokal hingga dua derajat Celsius dan menurunkan mjutu udara secara nyata.
Meminggirkan Petani
Warga Sinjai pada umumnya bekerja di sektor pertanian, sesuai potensi alam yang ada. Namun, proyek tambang emas ini berpotensi menggusur lahan pertanian mereka. Parahnya, penggusuran ini dianggap sah dalam pandangan investasi. Akibatnya, petani kehilangan sumber mata pencaharian, produksi pangan menurun. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat terancam.
Bahaya Sosial dan Potensi Konflik
Aktivitas pertambangan di Indonesia hampir selalu menciptakan konflik horizontal antara warga yang pro melawan kontra, warga versus perusahaan, bahkan warga berhadapan aparat. Ini fakta. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan, dalam kurun waktu 2020–2023, minimal terjadi 123 konflik pertanahan di sektor pertambangan, umumnya belum diselesaikan secara adil. Sinjai harus mencegahtimbulnya luka sosial seperti itu.
Ambil Alih Atas Nama Negara
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadiu Satu Pintu Kabupaten Sinjai, Lukman Dahlan menyatakan izin usaha pertambangan merupakan wewenang pemerintah pusat. Artinya, ruang hidup rakyat Sinjai diputuskan dari Jakarta, tanpa persetujuan penuh masyarakat daerah. Padahal Partisipasi khalayk merupakan prinsip utama dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tiada legitimasi moral atas izin tersebut, bila suara rakyat diabaikan.
Kerusakan Permanen, Janji Reklamasi Semu.
Siapa yang menanggung kerusakan lingkungan, usai emas dikuras dan perusahaan pamit? Reklamasi seringkali hanya janji di atas kertas. Studi ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) tahun 2022 mengonfirmasi bahwa hanya sekitar 25% dari 2.741 IUP aktif, yang menunaikan kewajiban reklamasi dan pascatambang dengan baik. Sisanya 75% meninggalkan tanah tandus dan lubang maut. Selanjutnya, data WALHI menunjukkan lebih dari 2.500 lubang bekas tambang batubara di Indonesia belum direklamasi, tapi sudah menewaskan puluhan anak.
Pembangunan Pincang
Tambang bukan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang sesungguhnya itu memperkuat kedaulatan pangan, menjaga kualitas air, mempertahankan keanekaragaman hayati, serta meningkatkan kualitas hidup rakyat tanpa mengorbankan generasi mendatang. Tambang emas cuma jalan pintas menuju kerusakan jangka panjang.
Menolak dengan Lembut
Warga Sinjai telah bersuara. Dari mahasiswa, tokoh adat, petani, hingga akademisi. Mereka siap menyambut investasi, tetapi menolak eksploitasi. Penolakan ini rasional karena cinta terhadap tanah, air dan hutan yang memberi mereka nafkah dan kehidupan.
Sebaliknya, dukungan terhadap proyek ini kerap datang dengan embel-embel kehati-hatian: “Kami mendukung selama tidak merusak.” Namun pengalaman di banyak daerah menunjukkan, tambang dan kelestarian lingkungan nyaris tak pernah bisa berdampingan.
Memilih Kehidupan.
Kita berdiri di persimpangan sejarah, apakah mau menjual masa depan demi keuntungan sesaat, atau mempertahankan tanah, air dan udara untuk generasi mendatang?
Kami warga Sinjai memilih kehidupan, menolak tambang emas, ingin pembangunan yang menghormati bumi, bukan menjarahnya. Tanah bukan komoditas untuk keserakahan, hutan bukan sumber modal yang kapitalistik, rakyat bukan angka dalam tabel laba.
Penulis: Amrullah Andi Faisal, Statistisi Ahli Muda di Sinjai.
Komentar