Jika Resesi Terjadi, Bagaimana Nasib Rupiah?

Publisher:
Eksklusif, Berita Terkini di WhatsApp Posliputan.com

JAKARTA, Pos Liputan – Kekhawatiran dialami banyak negara perihal ekonomi global yang berpotensi mengalami resesi.

Dihimpun dari berbagai sumber. Bank dunia memperkirakan ekonomi global akan bertumbuh lebih lambat pada tahun ini sebesar 2,9%. Tahun lalu ekonomi dunia mampu bertumbuh 5,7% karena adanya reopening ekonomi.

Sekitar 2 tahun lalu dunia mengalami resesi akibat pandemi Covid-19, yang membuat aktivitas dan mobilitas miliaran umat manusia terganggu. Dampak dari permasalahan global ini sangat terasa di berbagai negara hingga saat ini.

Baca Juga:  
Raline Laundry Jadi Tempat Recommended Solusi Mencuci yang Efektif di Sinjai

“Dampak kepada perekonomian Indonesia pada resesi global diperkirakan tidak separah 2020 ataupun 1998 seiring dengan kondisi ekonomi riil yang masih relatif stabil sejauh ini,” ujar Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, (20/7) lalu.

Hal tersebut tentu akan berakibat pada ekspor Indonesia, berpotensi melambat. Ekspor sendiri berkontribusi sebesar 23% terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2022. Kemerosotan ekspor akibat resesi dunia tentunya akan memangkas PDB Indonesia.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari ancaman resesi tersebut, Anthony Watson, founder dan presiden Thrive Retirement Specialist di Michigan sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, menyarankan melakukan divestasi investasi.

Baca Juga:  
Antisipasi Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Menjelang Idul Fitri, Pemkab Sinjai Buka Pasar Murah Selama 2 Hari

Baginya, dalam kondisi resesi, value stock atau saham-saham yang dinilai memiliki harga terlalu rendah ketimbang kinerja keuangannya, akan lebih menguntungkan ketimbang growth stock.

“Value stock cenderung unggul ketimbang growth stock ketika memasuki resesi,” kata Watson sebagaimana dikutip CNBC International.

Bukan hanya itu, ia juga menyarankan untuk mempertimbangkan aset investasi masuk ke obligasi, sebab selain lebih aman ketimbang saham, imbal hasil (yield) yang ditawarkan kini cukup tinggi.

Akibatnya, kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral membuat yield obligasi cenderung akan menanjak. Hal ini tentunya memberikan keuntungan, apalagi obligasi merupakan aset yang lebih aman ketimbang saham.

Baca Juga:  
Deddy Sitorus Minta Warga Malinau Manfaatkan BUMN

Beberapa bulan lalu, tepat pada awal Maret emas sempat melesat ke US$ 2.069/troy ons dan nyaris memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Namun setelahnya justru melempem dan kini diperdagangkan di dekat US$ 1.800/troy ons. Sehingga bila dunia mengalami resesi, sementara bank sentral gagal menurunkan inflasi dengan cepat lewat kebijakannya, maka emas punya potensi kembali melesat, demikian pada mata uang Indonesia, rupiah (Rp).

Penulis: BurhanEditor: Andi
Baca berita Pos Liputan di:
|

Komentar