Pos Liputan – Sungguh miris mendengar beberapa kasus perundungan yang terjadi pada anak didik yang bahkan sampai merenggut nyawa.
Beberapa kasus terbaru yang terjadi, seperti seorang santri di Sinjai, Sulawesi Selatan, wajahnya harus di operasi lantaran mendapat perundungan dari temannya. Di Medan, Sumatera Utara, seorang anak SD meninggal setelah mendapat perundungan dari kakak kelasnya. Di temanggung, Jawa Tengah seorang anak nekat membakar sekolahnya karena mengalami perundungan secara terus menerus.
Itu hanya segelintir kasus dari sekian banyak kasus perundungan yang terjadi. Hal itu menjadi bukti nyata bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini. Hilangnya etika hingga munculnya perilaku merasa benar sendiri.
Berdasarkan data 2022 dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, angka kekerasan satuan pendidikan secara Nasional lebih dari 422 anak di tahun 2022 yang kecenderungan pelakunya usia SD hingga SMP.
Kasus perundungan di kalangan siswa ini tidak hanya dilakukan secara verbal tetapi juga nonverbal. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hal tersebut menjadi racun di dalam pendidikan nasional yang mampu merusak generasi penerus bangsa.
Perundungan yang terjadi pada anak usia sekolah ini sudah berada dalam tahap yang sangat mengkhawatirkan dan sudah seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan di negeri ini.
Sekolah seharusnya steril dari tindakan kekerasan, menjadi tempat yang ramah anak. Sebagaimana tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia, mencetak peserta didik sebagai individu yang memiliki budi pekerti yang baik.
Banyaknya kasus perundungan menjadi cermin kegagalan sistem pendidikan dan hilangnya ruh kurikulum pendidikan, yaitu menciptakan generasi yang berbudi pekerti luhur.
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara dalam memajukan pendidikan menganjurkan agar memperhatikan ilmu jiwa, keadaban dan kesopanan hingga cara-cara membangun karakter yang baik. akan tetapi yang terjadi, pendidikan seolah jauh dari pendidikan karakter sehingga menyebabkan banyaknya kasus perundungan yang terjadi di kalangan siswa.
Sistem pendidikan di negeri ini hanya terjebak dalam muatan intelektualisme. Sementara konstitusi telah mengamanatkan fokus pendidikan juga pada nilai-nilai kemoralan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional agar mengembangkan potensi diri peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, hingga akhlak yang mulia.
Tentu, kita semua menginginkan tidak ada lagi kasus perundungan yang terjadi yang bahkan sampai menyebabkan hilangnya nyawa generasi penerus bangsa. Sekolah tidak boleh lagi menjadi tempat menakutkan, menimbulkan kecemasan, trauma bahkan menjadi tempat pembantaian.
Sistem pendidikan harus menciptakan sistem meritokrasi sehingga sekolah tidak lagi hanya menciptakan manusia-manusia medioker. Penting juga bagi setiap guru untuk memahami bentuk-bentuk kenakalan anak didik di setiap sekolah agar mampu melakukan pencegahan dini. Pengawasan yang intensif terhadap anak didik serta melakukan sosialisasi mengenai bahaya perundungan kepada orang tua dan siswa.
Sekolah juga hendaknya proaktif memberi perlindungan terhadap anak peserta didik sebagaimana amanat Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 54 bahwa anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.
Komentar