Budak Politik

Publisher:
Eksklusif, Berita Terkini di WhatsApp Posliputan.com

Pos Liputan – Saya merasa tergelitik untuk ikut berkomentar terhadap kontroversi publik Bone mengenai persepsi dari kata yang diucapkan oleh salah seorang anggota DPRD Kabupaten Bone yang melontarkan kata budak politik saat berdialog dengan mahasiswa di gedung DPRD Kab.Bone beberapa waktu yang lalu.

Saat legislator Kabupaten Bone tersebut menyebut kata budak politik tak ayal memantik reaksi keras mahasiswa yang tidak terima kalau dirinya atau rakyat disebut sebagai budak politik. Kata budak politik ini kemudian menjadi perbincangan dan kontroversi di ruang publik.

Budak adalah seorang hamba sahaya yang secara totalitas nyaris tanpa syarat mengabdikan diri pada tuan atau majikannya. Disebutlah budak majikan.

Bagi seorang budak, majikan adalah tujuan akhir dari segala pengabdiannya. Jadi budak sebagai manusia tidak lain adalah subordinat dari majikan sebagai superordinat yang juga adalah manusia.

Baca Juga:  
Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Usia Sekolah dari Bullying

Hubungan inilah yang menempatkan budak sebagai individu yang termarginalisasi dari lapisan sosial karena stigma bahwa budak berada di lapisan terbawah dalam strata sosial. Sebuah kelas sosial yang tidak satupun manusia menginginkannya secara sukarela.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kata budak politik adalah konotasi personifikasi seorang manusia yang berwatak budak sebagai subordinat dan kata politik sebagai superordinatnya.

Budak politik adalah hamba sahaya dari kepentingan politik yang rela melakukan apa saja secara totalitas nyaris tanpa syarat untuk mencapai tujuan politiknya tanpa mengindahkan prinsip serta nilai-nilai moral, independesi, dan integritas.

Jadi budak politik adalah individu yang menempati lapisan terendah dalam strata idealisme politik.

Pada praktiknya, budak politik menggunakan kekuasaan atau pengaruh politik atau materi bernilai ekonomi untuk memanipulasi atau mengontrol orang lain, seringkali untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok. Dapat pula diartikan sebagai seseorang yang sangat berambisi terhadap tujuan politiknya berupa status sosial yang hanya bisa diperoleh melalui kompetisi politik.

Baca Juga:  
Kembalinya Akal Sehat Kampus

Ambisi atau obsesi ini seringkali membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara independen serta lepas dari nilai-nilai integritas. Untuk mencapai ambisinya seorang budak politik seringkali tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Singkatnya budak politik akan menghalalkan segala cara guna mendapatkan ambisi politiknya.

Perilaku budak politik seringkali dilakukan melalui cara-cara seperti pemberian imbalan uang atau hadiah untuk mempengaruhi tindakan atau pilihan rakyat/pemilih. Dalam pemilu ataupun pilkada maupun pilkades praktik ini disebut politik uang.

Politisi yang melakukan praktik politik uang atau tindakan lain yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuannya inilah yang disebut sebagai budak politik karena tujuan mereka adalah untuk mendapatkan nilai atau posisi politik (kekuasaan/jabatan).

Baca Juga:  
Catatan Hitam Kepemimpinan di Kabupaten Sinjai

Pada konteks praktik politik uang, rakyat atau pemilih tidak dapat disebut sebagai budak politik karena tujuan mereka adalah uang, bukan kekuasaan/jabatan. Rakyat atau pemilih yang menerima uang dari kontestan lebih tepatnya disebut sebagai budak uang sedangkan politisi yang melakukan praktik politik uang disebut budak politik.

Tindakan-tindakan budak politik memiliki dampak negatif yang luas pada proses demokrasi dan keadilan sosial. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan mensosialisasikan akibat buruk praktik politik yang dilakukan oleh para budak politik karena dapat menghambat kesejahteraan rakyat serta akan memperlambat pendewasaan demokrasi bangsa.

Penulis: A.Supriadi, S.H., M.H.
Baca berita Pos Liputan di:
|

Komentar