Janji Kemerdekaan dan Kegalauan Para Petani

Publisher:
Eksklusif, Berita Terkini di WhatsApp Posliputan.com

Pos Liputan – “Merdeka!” ini adalah kata yang selalu dilambungkan ke langit setiap perayaan 17 Agustus tiba. Di hari itu juga, kita selalu teringat dengan janji-janji kemerdekaan yang digaungkan para pendahulu bangsa Indonesia. Bahkan janji kemerdekaan termuat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban memajukan kesejahteraan umum.

Agenda penting dalam memajukan kesejahteraan umum bagi bangsa Indonesia ini masih perlu dan terus diperjuangkan. Sebagai contoh, tingkat kemiskinan yang masih sangat tinggi hingga mencapai 9,54 persen dari penduduk Indonesia atau sekitar 26,16 juta orang menurut data BPS bulan Maret 2022. Mencengankan bukan?

Negara Indonesia dengan segala kekayaan alam yang dimilikinya disebut sebagai negara agraris karena itu sektor pertanian memiliki peranan penting terhadap keseluruhan perekonomian nasional. Hal tersebut sudah seharusnya menjadikan para petani di negeri ini jauh dari kata ‘Kemiskinan’ terlebih di hari-hari terakhir ini kencang terdengar bahwa Indonesia berada dalam status sebagai negara swasembada pangan.

Baca Juga:  
Dekonstruksi Politik Baru Aldi Taher

Kabar tersebut terus melambung-lambung, terkesan hanya sebuah pencitraan seolah-olah ini menjadi pintu ‘Surga’ bagi para petani agar terbebas dari segala jerat kemiskinan yang melanda.

Bagi petani yang setiap harinya harus menantang teriknya matahari dikala mereka sedang mengelolah tanaman agar tumbuh dan berbuah di sawah, kabar tersebut membuat mereka bertanya apa pentingnya swasembada pangan baginya? Menumpuk beras di lumbung-lumbung padi tidak akan dapat menghasilkan apa-apa kecuali ketenangan semu bahwa keluarganya masih memiliki ‘tabungan’ pangan yang melimpah.

Baca Juga:  
Kembalinya Akal Sehat Kampus
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tengah kegalauan itu, sederet kesulitan yang terus menghantui para petani. Misalnya, kelangkaan pupuk yang kerap terjadi dikala tanaman mereka yang sudah seharusnya diberi pupuk dan jikapun tersedia harganya pun melambung dan sulit terjangkau, serangan hama wereng sampai sulitnya mendapatkan bahan bakar untuk mesin-mesin pertanian bermotor.

Bahkan, yang tidak pernah diharapkan namun kerapkali menjadi kenyataan dikala musim panen petani harga padi dan beras terus merosot membuat petani kecut. Belum lagi mereka ‘Tuan dan Nona’ yang terus ‘bersekongkol’ merencanakan mengimpor beras di saat musim panen membuat petani semakin kecut dan pasrah dengan membusuknya hasil panen di lumbung-lumbung para petani.

Sederet kegalauan para petani ini menyebabkan banyaknya kaum milenial enggan menjadi petani. Bahkan istilah ‘Petani Milenial’ hanya akan menjadi lakon bagi sederet pemuda milenial lantaran istilah tersebut hanya memberi kesan jauh panggang dari api.

Baca Juga:  
Kemunculan Android Salah Satu Pemicu Konflik di Media Sosial Melalui Akun Palsu

Kini kegalauan petani menjadi semakin lengkap. Swasembada padi yang terus dilambungkan kekuasaan hanya menjadi panggung-panggung pencitraan kekuasaan. Alih-alih tersejahterakan, mereka sebenarnya tahu bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka hanya dijadikan panggung-panggung pencitraan yang setiap menjelang pesta demokrasi, lantang terdengar “Saya Akan Mensejahterakan Petani”.

Sebagai penutup dari kegalauan petani ini saya ingin mengatakan bahwa sederet masalah yang dihadapi petani tersebut, ada masalah yang lebih pelik dan belum terselesaikan yaitu ‘kerangkeng’ kemiskinan. Yang terjadi, “Lumbung padi menjadi panggung-panggung pencitraan bagi kekuasaan, sementara Kemerdekaan menjadi lumbung kegalauan bagi para petani”.

Penulis: AndikaputraEditor: Jumardi
Baca berita Pos Liputan di:
|

Komentar