Negara dan “Palimbang-Limbang”

Publisher:
Eksklusif, Berita Terkini di WhatsApp Posliputan.com

“Pembatasan adalah bentuk kejahatan yang terstruktur,” (Yayat ; 17 juni 2023).

Pos Liputan – Lingkup negara kesatuan republik indonesia mungkin hampir secara keseluruhan masyarakat kerap mendengarkan istilah pak ogah yang di anggap sebagai pengatur lalu lintas ilegal di suatu negara seperti indonesia. Sejumlah perspektif bermunculan di kalangan sosial tentang pak ogah tersebut, ada yang mengecam sebab pak ogah sebagai biang kemacetan, meresahkan masyarakat pengguna jalan hingga bahasan – bahasan kriminal kerap di lekatkan pada mereka yang berprofesi sebagai pak ogah.

Sebelum terlalu jauh membicarakan tentang kehadiran pak ogah, maka perlu kiranya mengetahui sebab kemunculannya. Secara umum negara adalah wadah rakyat untuk berlindung dan menjalani kehidupan individu, kelompok hingga pada kolektif. Selain itu pula, tanggungjawab besar dari di hadirkannya suatu negara adalah untuk menjamin seluruh rakyat dari sisi perputaran ekonomi, keamanan dan beberapa hal lainnya. Lebih jauh lagi, bahwa beberapa unsur di hadirkannya suatu negara yakni rakyat, wilayah, pemerintahan , aparatur dan pengakuan dari negara lain. Namun yang perlu di garis bawahi adalah rakyat sebagai unsur yang paling penting diantara yang lainnya.

Kita mungkin pahami secara seksama bahwa manusia secara umum mempunyai akal – pikiran yang di fungsikan untuk mengambil suatu tindakan misalnya berusaha semaksimal mungkin untuk mencari ataupun melakukan sejumlah hal untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu, kelompok hingga pada kolektif.

Manusia yang hidup dalam suatu negara dianggap sebagai rakyat hingga secara umum dianggap sebagai masyarakat sesuai dengan kontitusi dalam negara tersebut misalnya dalam lingkup negara indonesia bahwa UUD 1945 Pasal 26, ayat (1) termaktub bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Namun yang perlu di perhatikan dan menuai pertanyaan yakni apakah memang negara atau pemerintah dengan jajarannya memahami siklus pendidikan dan siklus kerja.

Baca Juga:  
Bahaya "Money Politik" Menjadi Akar Penyebab Korupsi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inilah yang cenderung menjadi pendiskusian sebagian masyarakat di negara kesatuan republik indonesia. Pertama, siklus pendidikan di indonesia amat sangat miris dan mungkin di beberapa negara lainnya hampir sama dengan yang terjadi di indonesia. Secara sederhana bahwa pendidikan di negara indonesia secara terang terangan membuka luas arena tempur atau kompetisi dalam hal menempuh pendidikan formal.

Bahasan yang mungkin sudah lumrah kita dengar ketika ingin menempuh pendidikan formal muncul pernyataan, “tidak ada uang / tena nia’ doe / kekurangan biaya – ekonomi “. Artinya rakyat dengan basis pengetahuan mampu mengolah dinamika pendidikan di dalam kepalanya sebagai pertimbangan awal menempuh pendidikan. Namun itu jelas terjadi, selanjutnya ketika ada yang gugur dalam kompetisi / kekurangan ekonomi, apakah mereka tetap bisa menempuh pendidikan setinggi – tingginya atau sebaliknya yang akan terjadi.

Jadi, mereka yang kekurangan biaya atau tidak mempunyai biaya pendidikan jelasnya tersingkir serta keadaan mengharuskan untuk mencari pekerjaaan sesuai dengan yang dia senangi. Kedua, siklus kerja, seperti yang di terangkan sebelumnya bahwa ketika seseorang telah gugur dalam kompetisi untuk menempuh pendidikan sebab kekurangan dalam sektor ekonomi pastinya akan melakukan beberapa hal agar dapat bertahan hidup. Tapi mesti di garis bawahi bahwa “pekerjaan yang mereka senangi”.

Saya senang dengan perspektif alexander berkhman dalam bukunya ABC ANARKISME yang mengatakan bahwa kemalasan itu sebenarnya tidak ada, kemalasan ada disebabkan oleh pembatasan misalnya mendikte seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang dia tidak senangi pastinya dia tidak akan mengerjakan, namun ketika dia di berikan pekerjaan sesuai dengan yang disenangi maka pastinya dia akan melakukannya. Itu adalah hal yang sangat rasional dan mungkin dapat dijadikan landasan untuk teman – teman yang kerap melakukan aktifitas di jalanan seperti pak ogah, pengamen dan lain sebagainya.

Baca Juga:  
Catatan Hitam Kepemimpinan di Kabupaten Sinjai

Di kota makassar sulawesi selatan yang seringkali di klaim oleh sebahagian orang bahwa makassar adalah kota yang marak tindakan kriminalitas jalanan dan lain sebagainya menjadi sorotan saat ini sebab viralnya pak ogah (anak jalanan) yang ada dibeberapa titik di kota makassar. Dalam bahasa tongkrongan di makassar pak ogah itu adalah palimbang limbang yang kerap juga di gaungkan sebagian orang slogan “setiap tikungan kami ada atau setia putar balik kami ada”.

Beberapa waktu lalu sebelum tulisan ini dimuat beredar luas video antara palimbang limbang yang di lari kocar kacir di buru oleh satpol pp kota makassar untuk di amankan karena dianggap sebagai salah satu faktor yang meresahkan pengguna jalanan.

Secara singkat saya sampaikan bahwa kerjaan sebagai pak ogah bukan kriminalitas, itu adalah representatif kesenangan seseorang untuk mengerjakan sesuatu agar dapat bertahan hidup dari cengkraman pendidikan yang mahal, kebutuhan yang cukup tidak stabil dan lain sebagainya.

Kerap yang di persoalkan juga sebagian pihak katanya kerap ada oknum pak ogah yang menggores kendaraan pengendara ketika tidak di berikan barang berbentuk uang sebagai imbalan. Coba kita ambil analogi lainnya bahwa bagaimana ketika ada oknum aparat kepolisian lalu lintas (polantas) melakukan pungli di jalanan, apakah mesti dibubarkan juga atau bagaimana? Selamat berfikir untuk yang membaca tulisan ini!.

Baca Juga:  
HUT Ke-78 Indonesia: Korelasi Pancasila dan Perlindungan Konsumen

Kemacetan di kota makassar bukan hadir 1 atau 2 tahun lalu, tapi sudah bertahun tahun lamanya kemacetan di kota makassar terjadi. Menyoal pak ogah, kelompok ini ada karena kita pake kata “mungkin” kurang atau tidak adanya pihak yang katanya legal untuk mengatur lalu lintas di jalanan. Yah, hal itu jelas adanya bahwa misalnya polantas ataupun dishub, seakan akan pihaknya gentayangan di siang bolong, di jam tertentu ada, kemudian hilang kemudian muncul lagi di jam – jam tertentu. Lebih mengherankan lagi, palimbang – limbang ini kocar kacir karena melihat sejumlah oknum yang berpakaian seragam (satpol pp) yang terlihat tegas dalam penertiban.

Eh, tunggu dulu, sedikit kita sentil bidang usah yang berdiri di kota makassar yang menggunakan bahu jalan sebagai lahan parkir dan itu sudah menjadi rahasia umum, lalu apa tindakan satpol pp dalam hal demikian dan mungkin bahasan yang kerap di lontarkan oleh kawan kawan adalah segala sesuatu harus diragukan atau de omnibus dubitandum.

Pak ogah atau palimbang – limbang di kota makassar khusunya, kembali saya tegaskan bahwa mereka melakukan pekerjaan tersebut karena mereka senang dan atau untuk memenuhi kebutuhan individu, kelompok bahkan kolektif. Pesan akhir adalah yakin saja bahwa ketika semua anak jalanan di kriminalisasi ipleh pihak tertentu, akan ada gerakan besar – besaran dari anak jalanan di kota makassar.

Penulis: Yayat
Baca berita Pos Liputan di:
|

Komentar