JAKARTA, Pos Liputan – Penarikan dana Muhammadiyah sejumlah Rp15 triliun dari Bank Syariah Indonesia (BSI) menuai banyak pertanyaan di tengah publik.
Salah satunya, beredar di media sosial warganet menganggap penunjukan Felicitas Tallulembang sebagai komisaris di BSI menjadi penyebabnya.
Bahkan, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun ikut memberi komentar melalui chanel YouTube miliknya yang diunggah pada Minggu, (16/6/2024).
Refly menduga penarikan uang oleh salah satu ormas terbesar di Indonesia ini memiliki tujuan, lantaran jumlah nominal yang tidak sedikit.
Bahkan, dirinya ikut mempertanyakan kompetensi dari Felicitas Tallulembang sehingga ia diangkat menjadi salah satu komisaris di Bank Syariah.
Belakangan, ia baru mengetahui bahwa Felicitas Tallulembang berlatar belakang seorang dokter yang juga merupakan kader dari partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, Partai Gerindra.
“Ada juga kemudian yang ribut-ribut mengenai komisaris yang baru ditunjuk yang ternyata kader Partai Gerindra dan tidak jelas juga apa kompetensinya di bidang perbankan syariah,” ucap Refly Harun, dikutip dari chanel YouTube miliknya, Rabu (19/6/2024).
Pakar Hukum Tata Negara yang kini berprofesi sebagai seorang youtuber itu menilai pengangkatan politisi Partai Gerindra itu merupakan hal yang kurang tepat.
Pengangkatan komisaris di Bank Syariah menurut Refly Harun, haruslah paling tidak memiliki latar belakang atau keahlian di bidang perbankan syariah.
Salah satu nama yang menurutnya paling tepat menjadi komisaris di Bank Syariah itu adalah Prof. Syafii Antonio yang merupakan seorang Profesor di bidang perbankan syariah.
“Kalau yang diangkat itu Profesor Syafii Antonio, wajar karena dia memang jagoan di bidang itu. Akan bila perlu yang diangkat itu yang paham tetang ekonomi perbankan syariah,” kata Refly Harun.
Seorang komisaris yang akan bekerja melakukan pengawasan sebaiknya mengerti tentang Bank Syariah terutama di bidang keuangan.
“Saya katakan, yang namanya komisaris itu paling tidak kalau dia bukan bank syariah, anda harus punya pengalaman perbankan itu sendiri. Artinya di core business, kemudian di financial economy terutama mengerti soal keuangan dan hukum plus corporate governance karena ini bidang pengawasan,” sambungnya.
Refly bahkan menyinggung kepentingan orang dalam di pengangkatan komisaris perusahaan BUMN.
“Tapi kalau seorang dokter apalagi di perbankan syariah i don’t know exactly. Tapi kalau ordal, ya mau diapain lagi,” tuturnya.
Dirinya lantas menyindir komisaris yang kerjanya cuma nempel masuk dan terima setoran. Menurutnya, komisaris itu anda bisa kerja, bisa nggak kerja.
“Karena cuma sekedar nempel nama dapat setoran, wah itu bahaya, gawat karena direksi BUMN itu senang kalau komisarisnya nggak aktif karena merasa nggak dicawe-cawein,” ujarnya.
Refly Harun yang juga pernah menjadi komisaris di Jasa Marga dan Pelindo I itu membagi beberapa jenis komisaris yang ia ketahui.
“Makanya saya katakan ada tiga jenis komisaris, yang pasif dan tidak cawe-cawe artinya dia kerja, core bisnisnya dia tidak kerjakan, tapi dia tidak cawe-cawe juga. Jadi ini semacam gabut lah. Dapat gaji buta,” ungkapnya.
“Yang kedua adalah, tidak aktif tapi cawe-cawe. Ini kacau. Jadi ini core bisnisnya tidak dia kerjakan. Rapat-rapat komisaris, macam-macam itu sering sekali berhalangan. Tapi giliran cawe-cawe ikut terus nempel dengan direksi terutama dirut,” lanjutnya.
Terakhir yang menurutnya jelek juga, tetapi lumayan. Aktif dan cawe-cawe. Bisnisnya dikerjakan, tapi cawe-cawe juga. Yang ke empat, yang aktif dan tidak cawe-cawe.
Komentar