Pos Liputan – Generasi milenial adalah kelompok manusia yang lahir diatas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut milenial kerena satu-satunya generasi yang pernah melewati millenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali Karl Mannheim pada 1923.
Tentu didalam generasi ini terdapat sekelompok anak muda yang masih sedang semangat-semangatnya dalam bidang apapun. Sejauh ini milenial dikenal dengan generasi pelanjut yang lebih tidak fokus dari milenial, tetapi lebih serba bisa, lebih individual, lebih global, modern, dan cenderung berfikir lebih terbuka. Lebih cepat terjun kedunia kerja, dan jiwa kewirausahawan dan tentu saja lebih berbicara politik untuk era saat ini.
Berbicara politik tentunya sangat menarik, bahkan di ruang publik maupun di warung kopi sekalipun, tak ayal dipenuhi pembahasan mengenai politik. Namun, tidak semua kalangan setuju bahwa politik itu sesuatu yang menarik, justru masing-masing orang memiliki pandangan dan minat yang berbeda. Kenapa demikian, sebagian orang masih setuju dan berpandangan politik itu bukan sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan yang sama, justru sebagian orang berpendapat bahwa politik itu hanya sebuah alat kotor, bahkan tak jarang masyarakat cenderung anti dengan berbagai persoalan politik karena politik itu identik dengan korupsi.
Berbicara politik generasi millenial, Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 318,9 juta jiwa pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21,73 juta penduduk berusia 15-19 tahun, dan sebanyak 21,94 juta penduduk berada dalam rentang usia 20-24 tahun. Selanjutnya, penduduk berusia 25-29 tahun dan 30-34 tahun masing-masing sebanyak 21,73 juta orang dan 21,46 juta orang.
Melihat cukup besarnya persentase pemilih tersebut, merupakan pemandangan politik yang sungguh menawan, bukan bagi penyelenggara pemilu saja yang berbangga hati. Tetapi, juga parta politik juga pasti menilai hal tersebut ibarat lahan basah yang mengandung permata yang berharga.
Yang harus di sadari bahwa bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilihan ini untuk memperhatikan aspirasi dan kebutuhan pemuda atau milenial, serta menyediakan informasi dan pendidikan yang cukup tentang proses pemilihan agar milenail dapat terlibat secara aktif dalam proses demokrasi dan memberikan suara yang tepat pada saat pemilihan berlangsung.
Bahkan Pendidikan politik sangat penting bagi bagi pemuda demi keberhasilan demokrasi, karena mendorong partisipasi aktif warga negara dalam proses politik. Dengan memahami proses politik dan hak-hak mereka sebagai warga negara, politik orang-orang dapat menjadi lebih efektif dalam mempengaruhi keputusan dan memperebutkan kepentingan mereka.
Pendidikan Politik
Dengan modal dan semangat yang dimiliki kaum millenial, hal ini harus dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pihak-pihak penggiat literasi khususnya mengenak demokrasi dan politik ataupun juga lembaga negara yang terfokus pada sektor politik dan pemerintahan. Berdasarkan data dari Trans Media Sosial, karakteristik generasi Milenial yang paling mencolok adalah mereka sangat menguasai teknologi serta aktif di media sosial. Data menyebutkan sekitar 80% generasi Milenial mengakses media sosial setiap hari, mereka biasanya mencari informasi mengenai liburan, hiburan, kuliner, agama, politik, olah raga dan lain sebagainya.
Melihat pemanfaatan yang dilakukan oleh pemilih millenial, guna dapat memberikan pendidikan politik yang dapat diterima oleh khalayak millenial, kita harus terjun ke dunia nya atau dengan membingkai pendidikan serta kegiatan yang sesuai dengan porsinya. Millenial sejatinya cenderung tertarik pada hal-hal yang baru, inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Melihat perpolitikan di Indonesia cenderung mempertontonkan konflik. Seraya menimbulkan berbagai intrik yang tidak elok dipandang. Apalagi arus informasi yang sangat mudah untuk di didapat. Ditakutkan tanpa ada pemberian pendidikan politik yang masif malah makin banyak sikap apatis di kalangan millenial.
Dalam Pemilu 2024, generasi milenial mungkin tidak satu suara penuh dalam mendukung pasangan calon tertentu dan mereka juga sebenarnya sangat fluktuatif dalam menyikapi dinamika politik yang ada walaupun masif nya pendidikan politik yang di lakukan oleh penyelenggara pemilu. Namun, yang jelas orientasi politik mereka akan tertuju pada figur atau calon yang tidak bertindak sebagai ”bapak”, tetapi sebagai ”teman” bagi mereka. Prasyarat itu menjadi mutlak bagi kandidat ataupun milenial itu sendiri bahwa masalah politik bukanlah masalah kompetisi, melainkan lebih pada membangun relasi.
Ke depan, peran mereka jelas akan berpengaruh 2024 yang akan mendatang, hanya mereka perlu dibina dan diselaraskan suaranya pada pilihan dan preferensi politik yang tepat. Jangan sampai potensi politik generasi milenial ini diabaikan karena mereka adalah generasi penerus pemimpin bangsa ke depan.
Penulis menyarankan untuk dilaksakan pendidikan politik yang terukur bagi generasi milenial. Serta dilaksanakkan secara berkelanjutan. Pendidikan berbasis digital, penempatan papan pemberitahuan pada setiap ruang publik di masyarakat juga dapat dilakukan, selain dengan kegiatan seminar dan kursus politik. Kalau ada duta batik, kenapa tidak ada duta politik. Hal yang menarik untuk ditunggu bagaimana duta politik ini dapat menjadi role of model terbaru agar perpolitik di indonesia makin banyak yang peduli dan menyadari bahwa politik itu bukan hanya sekedar memberikan suara, tetapi menyatukan suara. Memilih yang tepat, untuk kehidupan yang lebih baik, secara mendalam untuk Indonesia yang berintegritas dan damai.
Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis.
Komentar