Pos Liputan – “Perempuan Indonesia telah lama terjebak dalam stigma kolot tentang standarisasi kecantikan, dimana sebagian besar dari mereka menilai bahwa “cantik” hanya bisa dianugerahkan kepada perempuan yang berkulit putih, kurus, langsing, dan tinggi. Memaknai cantik, apakah cantik hanya sekadar fisik sahaja?”
Cantik? Bagaimana sih sebenarnya memaknai kata cantik itu? Apakah cantik hanya berbatas sekadar pada fisik saja? Kenapa harus ada penyamarataan di tengah keberagaman? Kenapa juga perempuan sampai mau menghalalkan segala cara untuk mencapai penyamarataan atau standar kecantikan tersebut?
Perempuan dan kecantikan merupakan suatu kesatuan yang identik. Kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Setiap hari kaum perempuan diyakinkan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan pada perempuan, nyatanya laki – laki ikut dalam andil. Wacana kecantikan dan feminitas tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki-laki di satu sisi untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan, dan di sisi lain perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas feminitasnya dari laki-laki.
Seorang perempuan cenderung mengandalkan kepercayaan dirinya kepada sebuah penampilan. Dalam arti lain, kepercayaan diri yang ada dalam jiwa seorang perempuan hampir seratus persen berasal dari apa yang ia kenakan dan keindahan fisiknya. Ini terbukti dengan melihat peristiwa yang terjadi dalam masyarakat secara umum. Misalnya saja, ketika perempuan berada di ruang publik maka mereka akan menjadikan penampilan penampilan sebagai nomor satu daripada hal hal yang lain dan merasa tidak percaya diri ketika mereka disandingkan dengan seorang perempuan lainnya yang lebih berpenampilan lebih baik dan cantik daripada dirinya.
Perempuan dominan menggantungkan kepercayaan dirinya pada bentuk tubuh dan paras wajah yang ia miliki, di samping pakaian serta makeup yang ia kenakan. Hampir semua perempuan memandang bahwa perspektif masyarakat mengenai definisi kecantikan itu memang benar. Karena berdasarkan fenomena yang terjadi di lingkungan sosial, masyarakat menyebutkan kata ‘cantik’ hanya untuk mereka yang memiliki tubuh ramping, mulus, dan mampu mendatangkan perhatian banyak orang terutama kaum laki-laki. Dan nyaris tidak ada istilah ‘cantik’ dimiliki oleh perempuan yang bertubuh gemuk berkulit hitam di dunia ini. Di belahan bumi mana pun, kata ‘cantik’ seolah tetap dimiliki oleh perempuan yang bertubuh ramping.
Ironisnya stigma yang menganggap bahwa ‘cantik’ adalah memiliki kulit yang bersih, cerah, dan glowing. Terlebih, bukan laki-laki yang mempelopori hegemoni ini, tetapi kaum perempuan sendirilah yang sesungguhnya melabeli diri sampai melabeli perempuan lain.
“Seandainya kamu kurus, itu pasti lebih bagus”
“Seandainya kamu putih sedikit, pasti kamu bakal cantik”
“Seandainya kamu pake skin care, pasti kulit muka kamu lebih glowing”
Seberapa sering ungkapan-ungkapan itu muncul? Mungkin sebagian orang memandangnya sebagai hal biasa. Namun terus terang saja, pernyataan-pernyataan tersebut sebenarnya tidak biasa, sama sekali tidak biasa. Kondisi sosial seperti ini merupakan sebuah bentuk penjajahan terhadap tubuh perempuan karena perempuan dijerumuskan dalam sebuah standar konservatif yang membuat mereka merasa tidak nyaman dengan tubuh mereka sendiri.
Padahal, seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negara multikultural dan heterogen yang di dalamnya hidup berbagai macam suku bangsa, agama, adat istiadat, golongan, tak terkecuali etnis dan ras. Perempuan-perempuan Indonesia tidak hanya terlahir dengan kulit putih, tetapi ada juga yang terlahir dengan kulit kuning langsat, kulit hitam, kulit sawo matang, dan lain sebagainya.
Tapi, tidak bisa dipungkiri standarisasi kecantikan selalu menjadi hantu bagi perempuan. Tidak sedikit perempuan menilai dirinya tidak cantik karena berkulit gelap atau sawo matang. Tidak sedikit perempuan menilai dirinya jelek karena memiliki rambut ikal dan keriting. Tidak sedikit perempuan merendahkan diri sendiri karena memiliki tubuh yang gemuk dan tidak langsing.
Hal inilah yang kemudian mengantarkan perempuan dalam upaya menjadikan dirinya sendiri objek penting hingga di level obsesi. Obsesi terhadap citra dirinya sendiri ini termanifestasikan pada minat mereka tehadap wajah, tubuh, dan pakaian. Akhirnya mereka berlomba untuk memoles diri. Bahkan tak jarang perempuan-perempuan ini dapat menyakiti perempuan lain lewat tindakan dan katanya hanya demi pengakuan. Seakan mendapat sebuah anggukan dari orang lain adalah keberhasilan terbesarnya.
Dalam konteks ini, media dan sosial juga ikut andil mempromosikan standar kecantikan ideal. Bahwa perempuan cantik adalah mereka yang berkulit putih tanpa ada flek atau jerawat di wajahnya, bibir penuh berwarna merah, bertubuh langsing dengan lekuk sempurna. Hegemoni standar kecantikan pun mulai gencar apalagi dengan mulai banyaknya beauty influencer skincare-skincare yang merupakan wacana kecantikan akan terus menerus diusahakan untuk mendefinisikan ulang tentang apa itu yang disebut keidealan kecantikan, dimana pihak yang memiliki kepentingan ini ialah produsen produk–produk kecantikan. Yah, hegemoni eksploitasi kapitalis terhadap perempuan.
Kenapa dikatakan sebagai eksploitasi kapitalis? Karena para kapitalis dunia sedang menjebak perempuan demi bisnis mereka. Tubuh perempuan mulai ujung rambut hingga ujung kaki dieksploitasi sedemikian rupa sebagai pemanis dagangan mereka.
Sampai akhirnya pun perempuan rela membeli kosmetik, skincare, dan melakukan berbagai macam treatment kecantikan di klinik dermatologi dengan nominal jutaan rupiah demi kulit yang putih mulus tanpa noda. Produk-produk kecantikan yang berlabel “whitening” pun banyak bermunculan karena membludaknya permintaan pasar. Mereka juga kerap berbelanja pakaian yang sedang digandrungi masyarakat untuk tampil gaya. Tidak heran jika apa yang dilakukan para perempuan ini akhirnya membuat diri sendiri tersiksa dan merasa wajib untuk tampil cantik di depan publik.
Ironisnya, kebanyakan perempuan tidak menyadari bahwa mereka sedang dijadikan kaki tangan oleh para Kapitalis tersebut. Dan yang lebih mirisnya lagi ada perempuan yang sudah sadar akan hal itu namun malah menikmatinya.
Yah begitulah stigma masyarakat yang memandang kecantikan telah melekat dengan penampilan fisik. Padahal, apabila kita melihat dengan perspektif yang lebih luas, maka kecantikan dapat diartikan sesuatu yang menarik dan mempesona. Apa sih sebenarnya arti mempesona? Mempesona lebih jauh mengaitkan kecantikan fisik dengan kepribadian, sifat, isi otak serta kebaikan hati, kemudian mengemasnya dengan sedemikian rupa menjadi satu paket, sehingga bisa menginspirasi untuk orang lain. Kecantikan merupakan sebuah perasaan senang yang muncul dalam persepsi masing masing individu.
Mayoritas perempuan ingin terlihat cantik, dan tidak ada salahnya. Tapi, Jangan mau didikte oleh ukuran cantik yang dibuat orang lain. Kecantikan bisa didefinisikan dengan kecerdasaannya, attitudenya, mimpinya, ambisinya, simpati dan empatinya. Buatlah definisi cantik menurut dirimu sendiri. Sudah saatnya definisi cantik diperluaskan bukan hanya mengenai fisik.
Perempuan juga harus menyadari bahwa kecantikan fisik bukanlah suatu ajang perlombaan yang harus dimenangkan. Ukuran kecantikan sosial tidak akan pernah habisnya sampai kapanpun. Stigma yang sudah tertanam pada sebagian orang, jangan sampai membuat kita merasa insecure, hal tersebut perlu kita lawan dengan penuh rasa syukur. Percayalah bahwa kita semua mempunyai keunikan dan kelebihannya masing masing, yang belum tentu orang lain punya.
“Kembali saya katakan bahwa jangan mau didikte oleh standardisasi kecantikan orang lain, mempunyai ambisi untuk cantik tidak salah asalkan tidak menghakimi orang lain apabila dia tidak memenuhi standarisasi kecantikan yang kamu maksud, sekali lagi semua orang cantik dengan versinya masing-masing”.
Komentar