Catatan Hitam Kepemimpinan di Kabupaten Sinjai

Publisher:
Eksklusif, Berita Terkini di WhatsApp Posliputan.com

Pos Liputan – Hitungan hari masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Sinjai selama lima tahun terhitung sejak pelantikan, yakni 26 September 2018 dan akan berakhir 26 September 2023. Masih ada beberapa catatan terkait dengan penuntasan Visi dan Misi dan masih ada beberapa program kerja tidak efektif dan memerlukan berbagai perbaikan disegala sektor. Dengan Visi ” Terwujudnya Masyarakat Sinjai yang Mandiri Berkeadilan dan Religius Melalui Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia yang Unggul dan Berdaya Saing “.

Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) di Kabupaten Sinjai, Berdasarkan data yang diperoleh, hasil survei kepuasan masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik pada tahun 2019 berada pada posisi 81,52. Lalu naik pada tahun 2020 dengan nilai 81,68. Kemudian, pada tahun 2021 kembali dilakukan survei dan menghasilkan nilai 82,50. Sementara tahun 2022 kembali meningkat dan menyentuh pada nilai 82,81. Jika merujuk Permenpan nomor 14 tahun 2017, nilai interval konversi dari 76,61-88,30 menunjukkan kinerja pelayanan publik di Sinjai dalam kategori baik.

Catatan Pertama, di era “post truth” dan rezim media  sosial saat ini tidak mudah menilai bupati sukses dan bupati gagal. Definisi “post truth” oleh para pengamat politik disebut era “pasca kebenaran”. Dalam teori Alexander Boose, penulis buku “Museum Of Hoaxes” simpel menyebutnya era “campur sari fakta dan kebohongan’. Illustrasi simpelnya begini: Seorang pejabat meyakinkan publik bahwa” di era kepemimpinannya kemiskinan turun hingga dibawah (10%)”.

Pernyataan ini mungkin benar secara fakta. Tapi klaim ini bercampur kebohongan karena fakta diatas diklaim otonom keberhasilan dirinya, tidak dikaitkan dengan tahapan keberhasilan penurunan angka kemiskinan di era rezim politik sebelumnya hingga sampai pada angka dibawah 10%. Ini teknik “berbohong secara ilmiah”. Dulu desain teknik manipulatif seperti ini dipakai rezim Fir’un lewat kepiawaian para “tukang sihirnya. Kedua, ditengah kerumitan indikator di atas lembaga UNDP (United Natiions Development Programe), badan otonom PBB meletakkan kerangka umum ukuran sukses atau gagal dalam indikator yang netral, independen dan relatif objektif.

Baca Juga:  
Bahaya "Money Politik" Menjadi Akar Penyebab Korupsi

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sinjai berdasarkan Provinsi tahun 2020 yaitu 67,60 (peringkat 20), tahun 2021 yaitu 67,75 (peringkat 21) dan 2022 yaitu 68,33 (peringkat 21) dari segi pertumbuhan IPM di Kabupaten Sinjai masih sangat fluktuatif dapat dilihat tahun 2020 yakni 0,82 tahun 2021 yaitu mengalami penurunan 0,22 dan tahun 2022 mengalami kenaikan yaitu 0,58. Progres” IPM (indeks pembangunan manusia) yang dicapai sebuah “nation state” atau dalam lingkup lebih kecil level kabupaten yang dipimpinnya. Bukan oleh keberhasilan menumpuk numpuk penghargaan dan mobilisasi puja puji. Konteks mengukur bupati berhasil atau bupati gagal pun tidak tepat sepenuhnya dibaca dari rangking IPM kab/kota dalam lingkup satu provinsi secara “statis” melainkan berapa capaian indeks kenaikan IPM dalam satu tahun anggaran secara komparatif dengan “progres” kab/kota lain di sebuah provinsi.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Angka Partisipasi Murni (APM) Formal dan Nonformal Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan SD Sederajat tahun 2021 yaitu 99,16 dan 2022 yaitu 99,31 Pendidikan SMP Sederajat tahun 2021 yaitu 74,34 dan 2022 yaitu 73,76 serta Pendidikan SMA Sederajat tahun 2021 yaitu 70,08 dan 2022 yaitu 69,45 kalau melihat dari indeks kesehatan tahun 2020 yaitu 72,77 tahun 2021 yaitu 72,89 dan tahun 2022 yaitu 73,35, sementara paritas daya beli masyarakat tahun 2020 yaitu 9 439,00, tahun 2021 yaitu 9,51 dan 2022 yaitu 9 726,00.

Hasilnya menggambarkan naiknya turunnya indeks pendidikan tetapi masih banyak program yang belum efektif dalam mengembangkan sektor pendidikan, derajat kesehatan dan kemampuan daya beli masyarakatnya. Jadi tidak perlu “berkoar koar” lagi  dengan janji-janji karena dalam posisi nya sudah menjadi bupati adalah memberikan bukti kepada masyarakat secara terukur lewat capaian IPM dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang unggul.

Deteksi kualitatif secara dini dapat dibaca pula dari postur keberpihakan kebijakan APBD terhadap belanja publik, cara mengangkat, mutasi atau menurunkan seorang perangkat birokrasi apakah di luar nalar “akal sehat” misalnya mutasi tanpa progres serta proses lelang jabatan hanya seremoni belakang lagi-lagi persoalan kedekatan tanpa mempertimbangkan kualitas dan lama pengabdian. Layanan publiknya dibawah standar layanan TIKI dan J&T, berbelit belit menguras energy rakyatnya.

Baca Juga:  
Aktivis Sinjai Geram Lihat Plafon RSUD Sinjai Roboh dan Bahayakan Pasien

Itulah cara relatif adil mengukur indikator bupati berhasil atau bupati gagal dalam kepemimpinannya. Inilah jalan politik mulia dan beradab agar bupati tidak tenggelam dalam “kolam” puja puji, jauh dari substansi progres performa kepemimpinannya. Persoalan apakah bupati berhasil atau bupati gagal akan dipilih atau tidak dipilih kembali oleh rakyatnya adalah bab lain yang lebih rumit di bacanya.  Tapi justru karena rumit itulah politik menjadi magnit  yang “sexi” untuk dinikmati dinamikanya.

Membangun jalan, gedung mewah, taman cantik di kota memang menjadi kebijakan populis yang bisa memberikan pujian instan dari masyarakat, seolah-olah kepala daerah sudah berhasil dalam melaksanakan tugasnya contohnya peresmian Command Center dan Alun-Alun Sinjai yang belum 100 persen rampung dan secepatnya mau diresmikan sebelum masa kepemimpinan dan menjadi legaccy. Padahal ukuran apakah ideal seorang kepala daerah adalah membuat kebijakan atau pembangunan yang berbasis pelayanan publik dan berdampak pada peningkatan sumber daya manusia ataupun pendapatan daerah berbasis kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran.

Perlu diketahui dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) telah tertulis dengan jelas bahwa pemerintahan daerah dibentuk untuk mengurus urusan wajib dan urusan pilihan. Jadi, hakikatnya pemerintahan daerah harus mengutamakan urusan wajib daripada urusan pilihan. Urusan wajib itu soal pendidikan, kesehatan, penataan ruang, perumahan rakyat, dan ketertiban sosial. Sedangkan pembangunan taman-taman cantik dan monumen-monumen penghias lainnya adalah urusan pemerintah yang masuk kategori pilihan.

Menyenangkan hati rakyat itu memang penting, namun menyejahterakan rakyat lebih penting. Caranya, pemerintahan daerah harus lebih mengutamakan urusan wajib ketimbang pilihan karena membuat taman-taman cantik atau monumen-monumen yang instagramable hanya akan menyenangkan hati rakyat secara sesaat. Dan, sudah bisa dilihat anggaran yang digunakan untuk semua itu tidak sedikit, namun manfaatnya hanya bisa dinikmati sebagian masyarakat. Jadi, tolok ukur kesuksesan seorang pemimpin daerah itu diukur dengan kemampuannya memanajemen urusan wajib, bukan membuat kota ditumbuhi dengan taman-taman atau pembangunan yang instragamable. Fokus utama pemerintahan daerah adalah urusan wajib; setelah urusan wajib ini dirasa sudah terpenuhi barulah beralih kepada urusan pilihan seperti mempercantik taman, membuat monumen yang indah, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  
Kemunculan Android Salah Satu Pemicu Konflik di Media Sosial Melalui Akun Palsu

Josep Schumpeter, seorang pemikir demokrasi pada era Perang Dunia I memberikan pemaknaan yang menarik soal demokrasi. Ketika banyak golongan mengatakan demokrasi melahirkan kebebasan, semua orang bisa berpendapat dan lain sebagainya, maka Schumpeter memberikan pemaknaan demokrasi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan karena kesejahteraan adalah fondasi dasar kebahagiaan. Kemudian untuk mengetahui kecakapan kepala daerah sudah bekerja sesuai dengan keinginan undang-undang, bisa dilihat dari program-program yang selama ini sudah dilakukan (bagi incumbent).

Belum efektifnya pemanfaatan sektor unggulan seperti pertanian, perikanan dan obyek wisata ini terlihat dari pendapatan asli daerah (PAD) masih perlunya menggenjot sektor sektor yang seakan luput dari pandangan mata seorang pemimpin dan oleh karena itu pemimpin bukan saja di belakang meja tapi perlu juga langsung melihat kondisi real di masyarakat terkait aktivitas yang bisa menjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat contohnya pemberdayaan UMKM dengan digitalisasi dan inovasi.

Catatan terkahir seharusnya diakhir kepemimpinan bukan malah melantik pejabat-pejabat karena sudah tidak efektif lagi disisi penilaian kinerja, dan juga tidak terlalu mengampanyekan calon anggota legislatif apalagi mengarahkan ASN untuk ikut politik praktis dan pentingnya menjaga persatuan menjelang pemilihan umum tahun 2024 dan juga kadang kala yang menjadi tantangan bagi pemerintahan daerah adalah keterlibatan keluarga dalam pengambilan kebijakan atau yang biasa disebut politik dinasti.

Penulis: Andi Aris Mattunruang, S.E., M.Sc. (Peneliti Rumpun Institute)

Komentar