Pos Liputan – “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bukanlah sekadar kutipan idealis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ia adalah janji negara, mandat konstitusi, dan arah tujuan bangsa Indonesia merdeka. Namun, lebih dari tujuh dekade sejak proklamasi, janji itu terasa masih jauh dari kenyataan. Meskipun berbagai kebijakan telah digulirkan, realitas pendidikan nasional hari ini menunjukkan kesenjangan yang masih menganga, kualitas yang timpang, serta akses yang belum merata.
Ironi di Tengah Anggaran Fantastis
Secara teoritis, Indonesia tidak kekurangan anggaran untuk pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2024, Kementerian Keuangan mengalokasikan sekitar Rp660 triliun untuk sektor pendidikan tertinggi sepanjang sejarah republik.
Namun pertanyaannya: ke mana semua anggaran itu pergi? Mengapa kualitas pendidikan masih stagnan di banyak daerah? Mengapa guru honorer masih dibayar di bawah UMR? Mengapa infrastruktur sekolah di pelosok masih mengenaskan? Dan mengapa indeks literasi dan numerasi siswa Indonesia terus merosot dalam survei internasional?
Ketimpangan Akses dan Kualitas
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan di Indonesia bukan sekadar isu, tetapi krisis. Siswa di DKI Jakarta dan Yogyakarta mungkin menikmati fasilitas teknologi, kurikulum inovatif, dan tenaga pendidik berkualitas. Namun di sisi lain, anak-anak di pedalaman Papua, NTT, dan sebagian Sulawesi masih harus berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mencapai sekolah dengan atap bocor dan papan tulis lusuh.
Laporan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 25% sekolah dasar negeri di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih kekurangan ruang kelas layak. Sementara itu, berdasarkan laporan World Bank tahun yang sama, hanya 52% guru di Indonesia yang mampu menjawab soal pedagogik dasar secara tepat, mencerminkan rendahnya kualitas pelatihan dan pembinaan guru.
Pendidikan Masih Mahal
Slogan “sekolah gratis” sering dijadikan jargon kampanye politik. Kenyataannya, biaya pendidikan masih menjadi beban berat bagi masyarakat. Biaya seragam, buku, SPP sukarela, iuran komite, hingga biaya ekstrakurikuler sering kali membebani orang tua, terutama di tingkat SMP dan SMA. Bahkan di perguruan tinggi negeri, biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) masih membuat banyak mahasiswa dari keluarga tidak mampu harus bekerja sambil kuliah atau putus kuliah sama sekali.
Kebijakan Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tentu membantu, namun seringkali terhambat oleh birokrasi, data tidak valid, dan distribusi yang tidak merata. Banyak yang berhak tidak menerima, dan yang mampu justru mendapatkannya. Di sinilah peran negara seharusnya hadir secara serius dan sistematis, bukan sekadar simbolis.
Kurikulum yang Sering Berganti, Tapi Tak Menjawab Tantangan Zaman
Indonesia tampak gemar bereksperimen dengan kurikulum. Dari Kurikulum 1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP), 2013 (K-13), hingga Kurikulum Merdeka yang kini diterapkan. Tapi apakah perubahan kurikulum itu berdampak signifikan terhadap kualitas output pendidikan?
Menurut studi dari Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbudristek tahun 2023, perubahan kurikulum tidak sebanding dengan kesiapan guru dan infrastruktur sekolah. Banyak guru merasa kebingungan dengan pendekatan baru, sementara pelatihan yang diberikan sering kali tidak efektif dan terputus. Akibatnya, alih-alih meningkatkan daya pikir kritis, siswa justru kebingungan dengan metode belajar yang tidak konsisten.
Sementara itu, hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains dari 81 negara peserta. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi pendidikan kita masih lebih sibuk membenahi kulit luar ketimbang substansi.
Guru Merupakan Pilar yang Terabaikan
Guru disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa maksimal jika status dan kesejahteraan mereka masih memprihatinkan? Hingga kini, lebih dari 1 juta guru di Indonesia berstatus honorer, banyak di antaranya menerima gaji di bawah Rp1 juta per bulan.
Proses seleksi PPPK dan CPNS seringkali menjadi momok tersendiri, dengan sistem yang berubah-ubah dan kuota yang terbatas. Bahkan, tak sedikit guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun harus bersaing dengan lulusan baru untuk mendapatkan status ASN. Ini adalah pengkhianatan terhadap pengabdian, dan kontradiktif dengan semangat mencerdaskan bangsa.
Pendidikan Vokasional Masih Jadi Anak Tiri
Jika kita serius ingin mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis keterampilan, pendidikan vokasi seharusnya menjadi prioritas. Namun realitasnya, lulusan SMK masih mendominasi angka pengangguran terbuka. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran lulusan SMK mencapai 9,42%, tertinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya.
Hal ini menunjukkan ketidakselarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Banyak lulusan SMK tidak terserap industri karena kurikulum tidak sesuai kebutuhan pasar, kurangnya link and match, serta minimnya praktik magang yang berkualitas.
Reformasi Pendidikan Harus Dimulai dari Keseriusan Politik
Mewujudkan janji konstitusi bukan hanya soal kebijakan teknis, tapi juga kehendak politik. Pendidikan seharusnya tidak diperlakukan sebagai komoditas ekonomi atau ajang eksperimen menteri baru, melainkan sebagai fondasi utama membangun peradaban.
Negara perlu berhenti menggunakan pendidikan sebagai alat pencitraan atau proyek jangka pendek. Sebaliknya, diperlukan strategi jangka panjang berbasis data, kolaborasi lintas sektor, serta evaluasi berkala yang berani dan transparan. Prioritas harus diberikan pada peningkatan kualitas guru, pemerataan akses, digitalisasi yang inklusif, serta revitalisasi pendidikan vokasi.
Sudah terlalu lama rakyat menunggu realisasi janji konstitusi. Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak cukup dengan spanduk di depan sekolah atau pidato seremoni Hari Pendidikan Nasional. Ia membutuhkan kerja nyata, komitmen anggaran yang efektif, keberpihakan pada yang lemah, dan visi jangka panjang yang tidak mudah digoyahkan oleh pergantian kekuasaan.
Pendidikan adalah jalan paling pasti menuju keadilan sosial dan kemajuan bangsa. Jika janji konstitusi masih dikhianati hari ini, maka kita semua harus bertanya: untuk siapa sebenarnya negara ini mencerdaskan kehidupan?
Komentar