Menguji Cacophony Generasi Milenial dan Gen Z

Publisher:
Eksklusif, Berita Terkini di WhatsApp Posliputan.com

Pos Liputan – Sejarah pemuda mencakup peran dan kontribusi pemuda dalam berbagai peristiwa sepanjang sejarah. Pemuda sering kali menjadi kekuatan pendorong perubahan, revolusi, dan perkembangan dalam masyarakat. Pemuda sering memainkan peran kunci dalam perjuangan untuk kemerdekaan suatu negara. Contohnya adalah pemuda Indonesia yang aktif terlibat dalam Perang Kemerdekaan melawan penjajah Belanda pada pertengahan abad ke-20.

Di Amerika Serikat, pemuda juga terlibat dalam Gerakan Hak Sipil pada tahun 1950-an dan 1960-an. Mereka berjuang melawan diskriminasi rasial dan untuk mendapatkan hak-hak sipil yang setara bagi semua warga negara. Pada akhir 1960-an, terjadi. Revolusi Kultural di banyak bagian dunia, terutama di Barat. Pemuda menjadi agen perubahan sosial dan budaya, mengeksplorasi nilai-nilai alternatif, menentang perang Vietnam, dan mempromosikan gerakan anti-establishment.

Pada era modern, pemuda memiliki peran penting dalam revolusi teknologi. Banyak inovasi dan perubahan besar dalam industri teknologi berasal dari pemuda yang berani berpikir out of the box.Pemuda seringkali terlibat dalam protes dan gerakan sosial. Misalnya, protes mahasiswa di seluruh dunia, seperti Pergerakan Mahasiswa 1968 di Prancis dan protes mahasiswa di Tiongkok pada 1989. Pemuda juga memiliki peran dalam dunia pendidikan dan pembangunan. Program-program pembangunan yang melibatkan pemuda sering kali diarahkan untuk meningkatkan pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan masyarakat.

Sejarah pemuda di Indonesia memiliki peran yang sangat signifikan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara, Pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II di Jakarta diadakan, dan di sinilah Sumpah Pemuda dibacakan. Sumpah ini menegaskan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Bahasa Indonesia. Pada tahun 1998, pemuda Indonesia memainkan peran penting dalam Gerakan Reformasi, yang menuntut reformasi politik dan ekonomi. Demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa untuk menggulingkan rezim Orde Baru dan membawa perubahan politik di Indonesia.

Generasi Milenial (Kelahiran sekitar 1981-1996) Milenial merupakan generasi yang mengalami transisi dari dunia pra-internet ke era digital. Mereka tumbuh bersama perkembangan teknologi komputer dan internet. Milenial sering diidentifikasi sebagai generasi yang optimis dan idealis. Mereka tumbuh pada masa ekonomi yang relatif stabil sebelum krisis keuangan 2008. Milenial lebih terbuka terhadap pengaruh global dan sering kali memiliki pandangan kosmopolitan. Keterhubungan global melalui internet memainkan peran penting dalam membentuk perspektif mereka. Milenial dikenal mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka cenderung menilai pengalaman dan keseimbangan hidup kerja yang baik.

Baca Juga:  
Kemunculan Android Salah Satu Pemicu Konflik di Media Sosial Melalui Akun Palsu
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Generasi Z tumbuh dalam era digital yang sudah mapan. Mereka tidak mengenal dunia tanpa internet dan ponsel pintar. Karena mengalami dampak langsung dari krisis keuangan global dan pengalaman ekonomi yang sulit, Gen Z cenderung lebih realistis dan kewaspadaan dalam hal keuangan mereka. Generasi Z sering diakui sebagai generasi yang peduli sosial dan aktif dalam berbagai isu, termasuk hak asasi manusia, lingkungan, dan ketidaksetaraan. Gen Z diketahui memiliki minat tinggi dalam kewirausahaan dan berpikir kreatif. Mereka lebih terbuka terhadap peluang untuk membuat usaha mereka sendiri. Karena tumbuh dalam lingkungan teknologi yang cepat, Gen Z memiliki kemampuan multitasking yang baik dan dapat dengan cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi.

Saat ini Indonesia membutuhkan generasi muda seperti “Generasi Sandwich” yang seringkali digunakan untuk menggambarkan generasi yang berada di tengah-tengah tanggung jawab merawat orang tua dan mendukung anak-anak mereka sendiri dan bukan generasi “Generasi Strawberry” mungkin mengacu pada generasi muda yang dianggap lebih cenderung “manja” atau mudah terluka. Karena tantangan besar bangsa Indonesia kedepan lebih kompleks apalagi di tahun 2045 ada bonus demografi yang menanti dan pemuda sekarang harus berperan penting.

Marketing dan Branding Politik

Tahun 2024 ini, ada pesta demokrasi yang menargetkan bahwa jumlah pemilih muda dalam pemilu nanti akan mendekati 60 persen dari total pemilih. Bila dikonversi jumlah pemilih muda bisa mendekati 114 juta orang. Potensi anak muda diharapkan dapat berperan dalam pesta demokrasi karena akan menentukan arah bangsa lima tahun kedepan.

Para bakal calon pemimpin mulai menampilkan dirinya di media massa, dan sosial serta baliho dengan berbagai gaya dan embel-embel titel yang panjang, branding politik yang sok jadi anak muda untuk menggaet suara pemilih muda mulai dari berpakaian anak muda, tingkah laku dan gaya mengikuti anak muda walaupun isi pikiran dan tingkah laku serta karakter asli tidak bisa berbohong untuk memperjuangkan aspirasi anak muda.

Baca Juga:  
Kuliner Jadul Menara dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen

Muda itu soal keberpihakan terhadap isu-isu sosial dan permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai bentuk kepekaan sosial dan bukan hanya fashion dan tingkah laku, saat ini kita membutuhkan anak muda yang kritis, inovatif dan visioner kedepannya, anak muda harus bicara tentang ide dan gagasan masa depan dan orang tua bercerita tentang nostalgia masalalunya, itulah bedanya anak muda dan orang tua.

Anak muda hari ini harus peka dan berpikir secara logika akal sehat dalam menentukan pemimpin masa depan jangan hanya melihat dari penampilan semata dari fashion dan tingkah laku calon pemimpin yang seolah olah mewakili anak muda, tetapi anak muda perlu menguji ide dan gagasannya dan jangan tertipu lagi dalam hal penampilan kesederhanaan dan juga framing seolah olah ada calon pemimpin yang di dzalimi dalam kontestasi.

Framing media sekarang sangat berbahaya dan bisa jadi preferensi untuk memilih calon kalau hanya melihat media hanya pada sampul tanpa mengkroscek kebenaran informasi, anak muda harusnya lebih mengedepankan pencarian informasi yang benar ketimbang hanya disuapi dengan informasi-informasi yang belum benar adanya (hoax).

Anak muda dalam politik terbagi menjadi 2, yang pertama karena privilage orang tua entah itu kaya, atau memiliki kekuasaan dan yang kedua adalah anak muda berangkat dari bawah mengikuti kaderisasi sampai mencapai tingkat tertinggi dalam politik, anak muda yang memiliki privilage karena orang tua, biasanya rentan terhadap nepotisme bahkan bisa jadi melanggengkan dinasti politik yang berpotensi menghalalkan segala cara dengan perangkat hukum yang ada.

Menjadikan anak muda sebagai patron untuk dipilih dalam pemilihan itu sebuah keharusan, tetapi ketika semua cara yang digunakan inkonstitusional maju dalam pemilihan sudah cacat moral dan etika sejak awal, seharusnya anak muda harus berpikir rasional dan mengedepankan moralitas dan etika, bukan hanya perasaan emosional karena personal calon tersebut muda ternyata “anak haram konstitusi”.

Baca Juga:  
Catatan Hitam Kepemimpinan di Kabupaten Sinjai

Mewaspadai Pemilu Curang

Hegemoni kekuasaan kadang membuat syahwat kepemimpinan semakin tergoda untuk berkuasa terus menerus dengan mencoba mengecak dan mempreteli Konstitusi dengan alasan melanjutkan pembangunan, mulai dari melakukan politik sandera ke beberapa petinggi partai, membungkam masyarakat yang kritis dengan pemerintah dengan UU ITE, menggunakan semua perangkat kenegaraan termaksud APBD dan APBN, menggerakkan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan yang terpenting melakukan tindakan nepotisme dalam mendukung calon penerusnya dengan berbagai cara.

Pola ekonomi etatisme di mana negara serta aparatur negara bersifat dominan, sistem ekonomi etatisme menerapkan monopoli, yakni kekuasaan ekonomi hanya terpusat pada satu pihak atau kelompok saja yang ujungnya digunakan untuk mengendorse pemilihan calon tertentu dengan ancaman bahwa usahanya akan diganggu dalam bentuk kenaikan pajak atau masalah terkait usahanya.

Oligarki dalam politik cenderung mengamputasi sistem dan alat kelengkapan negara dalam mendukung calon pemimpin bisa melanggeng, potensi kecurangan pemilu sudah terlihat jelas akan terjadi di pemilu 2024, dengan skema menggerakkan ASN dengan melakukan polarisasi dukungan ke pasangan tertentu dengan reward melanggengkan jabatan, menutup pemeriksaan hukum pejabat tertentu, serta meningkatkan bansos dan ADD desa.

Cacofoni dalam Politik sangat dibutuhkan untuk speak up terkait kebobrokan sistem yang sudah dipreteli sangat massive, anak muda indonesia sekarang harus bersuara dan bangun dari tidur panjangnya dengan menyuarakan perubahan pada sistem yang inkonstitusional serta kembali berpikir jernih terkait masa depan bangsa, bukan di ninabobokkan dengan framing personal seolah-olah calon tersebut mewakili generasinya, ingat jangan sampai kita lagi-lagi tertipu dengan personal dan melupakan subtansi dan ide untuk Indonesia kedepan.

Menagih janji seorang pemimpin muda itu melalui ide dan gagasan karena pemimpin masa depan itu menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks dari dalam negeri maupun luar negeri, pemimpin itu masa depan selain punya visi dan gagasan terkait anak muda dan bangsa kedepan tentunya harus juga sebagai eksekutor dalam melaksanakan ide dan kebijakan pada saat nantinya terpilih sebagai pemimpin.

Penulis: Andi Aris Mattunruang, S.E., M.Sc (Peneliti Rumpun Institute)
Baca berita Pos Liputan di:
|

Komentar

Lainnnya